Bookmark and Share

Senin, April 27, 2009

Antara Mitos dan Pentingnya Menjaga Alam

SETELAH sekian lama tidur, Gunung Slamet kembali membahana. Meningkatnya aktivitas vulkanik gunung tertinggi kedua di Jawa itu seolah mengingatkan bahwa alam pun memiliki dunia pikir dan tindak terkait hubungan mereka dengan kehidupan manusia di sekitarnya. Sebuah dunia yang semestinya dimaknai positif agar manusia kembali sadar akan pentingnya menjaga keseimbangan alam.
Gunung Slamet merupakan gunung api dengan bentang terluas di Jawa. Berdiri kokoh di empat wilayah kabupaten di Jawa Tengah bagian barat, yakni Banyumas, Purbalingga, Pemalang, dan Tegal, gunung ini mempunyai posisi yang sangat penting secara kosmologis, geografis, budaya, sosial, ekonomi, hingga historis bagi wilayah-wilayah di sekitarnya.
Dari gunung setinggi 3.432 meter di atas perm ukaan laut itu bermula ratusan, bahkan ribuan sumber air yang bermanfaat bagi kehidupan di bawahnya. Ribuan sumber air inilah yang menghubungkan Slamet dengan simbol kosmologi lain masyarakat di bawahnya, yakni bengawan dan laut.
Ke arah selatan, Gunung Slamet dihadapkan secara alam dengan Sungai Serayu yang berkelok laksana ular raksasa dan mengalir ke laut selatan, Samudera Indonesia. Hubungan keduanya bak sintesa dan antitesa yang saling memengaruhi. Hubungan yang berpengaruh besar terhadap kehidupan manusia di sekitarnya.
Ke arah utara, Gunung Slamet berhadapan dengan wilayah pantai utara. Hampir semua anak sungai yang mengalir melalui Tegal dan Brebes menuju pantai utara bersumber dari Gunung Slamet.
Pada sumber-sumber air inilah beraneka macam kehidupan dan penghidupan manusia di lereng Slamet hingga yang jauh di ujung muara bergantung seperti irigasi persawahan, air bersih, peternakan, perikanan darat, hingga pariwisata.
Bukan hanya di zaman modern, sejak zaman purba ketergantungan terhadap alam Slamet ini sudah terjadi. Perasaan masyarakat setempat dan peran yang ada pada gunungnya dalam sistim kepercayaan dan kehidupan masyarakat pun memengaruhi cara pandang mereka memahami alam sekitarnya.
Orang sekitar pun percaya gunung ini adalah tempat sakral dan didiami oleh makhluk halus, roh-roh leluhur, atau dewa. Kosmologi semacam itu menempatkan Slamet pada posisi yang sangat penting dalam penciptaan keseimbangan alam. Dan, gunung menjadi kosmos hidup yang memiliki daya magis besar.
Daya magis Slamet ini pula yang konon membuat pasukan Majapahit senantiasa menghindari melalui wilayah kaki gunung Slamet untuk menembus batas wilayah Pajajaran di masa jayanya dulu. Konon, di zaman itu, Gunung Slamet banyak dihuni para pendeta Bhairawa, sekte dalam ajaran Hindu yang memuja Durga. Jin, setan, dhemit, pripayangan, dipercayai banyak bersemayam di wilayah sekitar gunung di atas Kadipaten Pasirluhur ini dulunya.
Orang Majapahit lebih memilih lewar Caruban Larang (kini Cirebon dan Brebes) di utara atau Kabumian (Kebumen) di selatan. Tak pelak, Banyumas dan Purbalingga pun menjadi wilayah mancanegara bagi Majapahit dan Pajajaran karena tak tersentuh.
Hal ini berdampak kepada tumbuh berkembangnya budaya khas masyarakat Jawa di lereng Gunung Slamet yang berbeda dengan Jawa mainstream, seperti dialek ngapak, karakter masyarakatnya yang terbuka atau blakasuta, hingga kesenian tradisional yang tak ditemukan di Jawa bagian timur.

Kearifan lokal

Dalam perkembangannya, sistem kepercayaan masyarakat sekitar Gunung Slamet ini menciptakan kearifan-kearifan lokal untuk menjaga kelestarian alam Gunung Slamet. Tujuannya, agar sang penunggu gunung tidak marah, sehingga mengamuk dengan mengeluarkan material vulkaniknya. Ketua Paguyuban Masyarakat Pariwisata Baturraden, Deskart Setyo Djatmiko, mengatakan, kuatnya kepercayaan lokal terhadap kekuatan supranatural Gunung Slamet ini yang membuat kelestarian hutan di Gunung Slamet hingga saat ini masih relatif terjaga. Hutan-hutan di lereng Slamet relatif masih terpelihara dengan baik dibanding kawasan pegunungan lain di Jawa seperti Gunung Merapi, Semeru, maupun Dieng. Lingkungan alam yang masih relatif alami ini membuat Gunung Slamet sangat menantang untuk pendakian dan wisata petualangan. "Ketidakhati-hatian, saat memasuki kawasan ini sangat berbahaya. Banyak kasus pendaki tersesat atau meninggal dunia dalam pendakian," ujar Djatmiko. Samsuri (81), juru kunci Gunung Slamet, mengatakan, Gunung Slamet adalah gunung yang wingit. Mendaki gunung ini tidak boleh dilakukan sembarangan. Jiwa yang bersih adalah prasyarat utama sebelum mendaki, agar selamat. "Jangankan membawa barang curian, punya niat buruk saja, misalnya, mau mengambil benda-benda di gunung ini tanpa izin, bisa celaka. Selama puluhan tahun menjadi juru kunci di gunung ini, banyak kejadian seperti itu," tutur Samsuri yang akrab dipanggil Mbah Samsuri oleh warga sekitar. Orang tak boleh berbuat sembarangan, seperti menebang pohon atau memakai mata air tanpa izin. Ada tujuh "penunggu" gunung ini yang diyakini masyarakat sekitar, yakni Mbah Renti, Mbah Atas Angin, Mbah Tapak Angin, Mbah Semput, Mbah Brantayuda, Mbah Sapujagat, dan Mbah Raga. Jika melakukan sesuatu di gunung ini, harus seizin mereka dan tak melampaui batas.

Alih fungsi lahan

Namun, alam Gunung Slamet pun tak benar-benar tak tersentuh dari tangan-tangan jahil. Desakan ekonomi sedikit demi sedikit mulai mengubah sebagian bentang alam di gunung ini dari hutan lindung menjadi hamparan ladang sayuran. Ini seperti terlihat di bagian timur dan utara Gunung Slamet. Ladang sayuran, bahkan, menggerus kawasan lindung terlarang. Akibatnya, dari sekitar 75 sumber air yang bersumber dari Gunung Slamet menuju wilayah Purbalingga, sekitar 30 persen terancam mati. Kawasan Pemangkuan Hutan Perhutani Banyumas Timur, memprediksi, alih fungsi lahan yang tak terkendali di lereng Slamet itu mengancam keberadaan 19 tempat wisata air di Purbalingga. Ketua Mahardika Centre Purbalingga, Heru Hariyanto mengungkapkan, ada 1.126 hektar lahan hutan lindung dan hutan produksi di lereng Gunung Slamet kini telah beralih fungsi menjadi lahan sa yur. Kerusakan lingkungan di kawasan hulu itu memicu terjadinya bencana banjir dan longsor di Purbalingga yang mengakibatkan 49,4 ha lahan padi rusak, dan 21,1 ha sawah siap tanam terendam hanya dalam kurun waktu dua bulan pertama tahun 2009. Selain itu, lima bendungan dan 330 meter saluran air irigasi persawahan hancur. Kerugian terbesar adalah banjir di Kali Tajug di Desa Tajug, Kecamatan Karangmoncol awal Januari lalu. Banjir tersebut mengakibatkan rusaknya saluran irigasi persawahan sepanjang 10 meter, tanggul pengaman hancur, dan sawah siap tanam seluas 20 ha terendam sehingga tak dapat ditanami. Kerugian material dari kejadian tersebut mencapai Rp 814 juta. Saat ini ada lima bendungan di Purbalingga yang kondisinya rusak parah akibat banjir, yaitu Bendungan Laban, Bendungan Sijati, Bendungan Klawing, Bendungan Suro, dan Bendungan Tajuk. Kerusakan terparah terjadi di Bendungan Sungai Laban di Laban, Kecamatan Karanganyar, dan Bendungan Sungai Klawing, Banjarsari, Kecamatan Bobotsari. Dua bendungan itu sama sekali tak berfungsi. Belum usai perbaikan atas infrastruktur yang rusak akibat banjir itu, Gunung Slamet berteriak. Sejak tanggal 16 April lalu, letusan-letusan kecil terjadi di kawah gunung ini. Aktivitas vulkanik ini dari waktu ke waktu terus meningkat. Ini merupakan peningkatan aktivitas vulkanik terbesar sejak letusan tahun 1988.

Barangkali, fenomena alam Gunung Slamet ini adalah peringatan mulai lalainya masyarakat sekitar menjaga keseimbangan alamnya.

sumber KOMPAS.com-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar